Pungli Berkedok Sidang Senat Terbuka
Viralnya video kelulusan salah satu SMK di Purwokerto, Jawa Tengah, yang menggelar prosesi ala sidang senat terbuka lengkap dengan toga dan atribut perguruan tinggi, telah menyita perhatian publik. Alih-alih menjadi momen pelepasan siswa yang membanggakan, peristiwa ini justru memunculkan pertanyaan serius: sejak kapan satuan pendidikan menengah kejuruan memiliki senat akademik? Dan, apakah kegiatan seremonial semacam ini sah secara hukum atau justru merupakan modus pungutan liar?
Akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, Rusdianto Sudirman menjelaskan, Peristilahan “sidang senat terbuka” secara historis dan kelembagaan hanya dikenal di lingkungan perguruan tinggi. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maupun Permendikbudristek tidak mengenal konsep “senat” dalam struktur SMK.
" Maka, penyelenggaraan acara bertajuk “sidang senat terbuka” oleh SMK adalah bentuk deviasi simbolik penyalahgunaan tradisi akademik yang tidak sesuai tempatnya,"katanya.
Lanjut Rusdianto, Masalah tak berhenti pada kekeliruan nomenklatur. Di balik seremoni megah itu, tersimpan potensi pelanggaran hukum yang lebih substansial, pungutan kepada siswa dan orang tua dengan dalih sumbangan kegiatan kelulusan. Di banyak kasus, “sumbangan” ini bukan benar-benar sukarela, melainkan pemaksaan terselubung. Siapa yang tidak membayar, sering dipermalukan atau dilarang ikut wisuda.
"Menurut Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, sekolah hanya boleh menerima sumbangan dari orang tua jika bersifat sukarela, tidak mengikat, dan hasil musyawarah melalui komite sekolah. Jika pungutan dilakukan tanpa dasar hukum, atau dikemas sebagai sumbangan tapi faktanya bersifat wajib, itu jelas masuk kategori pungutan liar.,"imbuh Rusdianto
Tambahnya, Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Saber Pungli telah memperluas pengertian pungli sebagai segala bentuk pungutan tanpa dasar hukum. Maka, jika pihak sekolah, panitia, atau komite membuat pungutan tanpa SK kepala sekolah dan tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang transparan, mereka berpotensi melanggar hukum administrasi, bahkan pidana.
"Seremoni megah juga rawan menimbulkan pemborosan anggaran, apalagi jika dilakukan dengan mengorbankan anggaran kegiatan belajar atau bantuan operasional sekolah (BOS). Di tengah banyaknya siswa miskin yang butuh subsidi biaya pendidikan, pengeluaran untuk toga, gedung mewah, dekorasi, dan atribut senat akademik adalah bentuk paradoks. Sekolah mestinya menjadi tempat menempa kualitas dan karakter, bukan panggung untuk simbol dan kemewahan semu,"katanya.
Praktik serupa pernah terjadi di berbagai daerah, kata Rusdianto, SD menggelar prosesi wisuda, SMP membagi ijazah di hotel, atau SMA menyewa balai pertemuan mewah dengan anggaran belasan juta rupiah. Fenomena ini seolah mengafirmasi bahwa pendidikan tak lagi berorientasi pada isi, tetapi citra.
"Alih-alih membiarkan praktik semacam ini menjadi kebiasaan, pemerintah daerah, Dinas Pendidikan, dan aparat pengawas internal seperti Inspektorat harus bertindak. Tidak cukup hanya menegur. Diperlukan audit investigatif terhadap dana kegiatan kelulusan, termasuk memeriksa aliran dana, rekening penerima, dan peran panitia pelaksana. Bila ditemukan unsur penyalahgunaan dana BOS atau pungutan liar, proses hukum harus ditegakkan,"katanya
Rusdianto menambahkan, Ombudsman juga perlu turun tangan menelusuri adanya potensi maladministrasi. Laporan masyarakat harus ditindaklanjuti sebagai bentuk kontrol publik terhadap tata kelola sekolah. Pendidikan yang sehat tidak bisa dibangun di atas pondasi pungli dan pemborosan.
Apa yang dilakukan oleh SMK Purwokerto itu bukan sekadar kekeliruan protokoler.
" Ia mencerminkan masalah struktural dalam dunia pendidikan kita, glorifikasi seremoni, pembiaran praktik ilegal, dan lemahnya pengawasan. Pendidikan semestinya menjunjung integritas dan akuntabilitas. Tanpa itu, kita hanya mencetak lulusan yang mengagumi kemegahan, tapi gagal memahami makna kejujuran,"tutupnya.
LAPORAN: ABOD