BREAKING NEWS

Parkir Liar dan Negara Yang Abai


 Oleh: Rusdianto Sudirman 

Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 


Belanja ke minimarket seharusnya menjadi pengalaman yang sederhana. Tapi sering kali, saat baru keluar dari toko dengan barang belanjaan di tangan, kita dihadapkan pada seseorang berseragam rompi lusuh yang membunyikan sempritan lalu mengulurkan tangan “Parkir, Bang.”


 Tidak jarang tanpa memberikan aba-aba saat kendaraan masuk atau keluar. Kita membayar, bukan karena butuh jasa, tapi karena malas ribut atau tidak mau debat dengan tukang parkirnya. 


Fenomena tukang parkir liar ini bukan soal sepele. Ia adalah wajah lain dari negara yang tidak hadir, atau malah berkompromi dengan pembiaran yang sistemik.


Tukang parkir liar tidak hanya menjamur di ruas jalan publik yang sempit, tetapi juga di lahan privat seperti halaman minimarket. Padahal, jika merujuk pada hukum positif, tindakan pungutan tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran. Namun, anehnya, praktik ini terus berlangsung, bahkan diduga melibatkan oknum aparat yang mestinya menertibkan.


Dalam perspektif hukum tata negara, fungsi utama pemerintah daerah adalah menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sayangnya, isu parkir liar seolah tidak dianggap sebagai bagian dari tugas tersebut, atau sengaja diabaikan karena dianggap “tidak prioritas”.


Di sisi lain, Peraturan Daerah (Perda) tentang penyelenggaraan parkir di banyak daerah sudah eksis. Namun substansinya lebih banyak mengatur parkir resmi yang dikelola oleh dinas perhubungan atau rekanan swasta. Parkir liar justru tumbuh di ruang-ruang abu-abu antara publik dan privat, antara izin dan pungli.


Lahan minimarket sejatinya merupakan milik privat. Jika demikian, keberadaan tukang parkir di lahan tersebut tanpa kerja sama atau kontrak jasa dengan pihak pengelola toko, maka praktik itu adalah perampasan hak ekonomi dan pelanggaran hukum keperdataan. Jika dilakukan secara kolektif dan terorganisir, maka dapat dikualifikasi sebagai pungutan liar atau pemalakan dalam perspektif hukum pidana.


Tukang parkir liar bukan lagi individu yang mencari nafkah seadanya. Di beberapa kota besar, mereka bagian dari jaringan yang memberib setoran ke oknum tertentu. Inilah yang membuat aparat penegak hukum seolah tak berdaya. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka justru menjadi bagian dari mata rantai setoran itu.


Padahal, Pemerintah sudah menegaskan bahwa pungli adalah musuh utama pelayanan publik. Pemerintah pun telah membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungli melalui Perpres Nomor 87 Tahun 2016. Namun, di tingkat akar rumput, payung hukum ini belum menjadi instrumen efektif dalam menjangkau pungli bermodus “parkir”.


Bahkan dari aspek perlindungan konsumen, masyarakat berhak untuk tidak membayar jasa yang tidak mereka gunakan. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan jaminan bahwa setiap konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan/atau jasa. Maka, pungutan parkir liar di minimarket, yang bahkan tak memberikan pelayanan nyata, telah mencederai hak konsumen.


Persoalan tukang parkir liar bukan hanya soal ketertiban, tapi juga integritas pelayanan publik. Oleh karena itu, solusi tidak bisa hanya berhenti pada razia sesekali. 


Menurut Penulis, Negara dalam hal ini pemerintah daerah, harus mengambil tiga langkah serius. Pertama, perlu evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan parkir, khususnya di lahan privat yang terbuka untuk publik seperti minimarket, apotek, dan rumah makan. Perlu diterbitkan regulasi tegas bahwa lahan semacam ini tidak dapat dipungut biaya parkir kecuali atas dasar perjanjian resmi dengan pemilik/pengelola lahan.


Kedua, pemerintah daerah bersama kepolisian perlu menyusun peta zona rawan parkir liar dan menjadikannya sebagai prioritas penertiban. Jika perlu, Satpol PP diberi mandat dan target kinerja untuk membasmi pungli di sektor ini. Pelibatan Satgas Saber Pungli perlu dipastikan hingga ke level kecamatan.

Ketiga, perbaikan sistem pengelolaan parkir resmi dengan digitalisasi dan transparansi. Kota-kota besar seperti Bandung dan Semarang telah memulai sistem parkir elektronik untuk meminimalisir kebocoran. Teknologi bisa menjadi kunci untuk membendung pungli sekaligus meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).


Di sisi sosial, pemerintah juga perlu membuka ruang pelatihan kerja dan alternatif penghidupan bagi mereka yang saat ini menggantungkan hidup sebagai tukang parkir liar. Membasmi tanpa memberi solusi hanya akan memindahkan masalah ke bentuk baru  pengangguran dan kriminalitas.


Dalam ilmu hukum tata negara, keberpihakan negara terhadap ketertiban adalah prinsip dasar dalam mewujudkan negara hukum. Maka, jika negara bersikap netral atas praktik pungutan liar, berarti negara telah gagal menjalankan fungsi dasarnya.


Masyarakat tak boleh dibiarkan terus menerus membayar untuk sesuatu yang tidak mereka minta, di tempat yang seharusnya gratis. Karena setiap rupiah yang dipungut tanpa dasar hukum adalah bentuk pemerasan. Dan pemerasan yang dibiarkan adalah bentuk pelecehan terhadap hukum itu sendiri.


Sudah saatnya pemerintah daerah berani berkata: cukup sudah. Parkir liar harus berakhir, sebelum kepercayaan rakyat ikut berakhir dan tidak percaya lagi dengan pemerintah.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image